Dikisahkan, ada seorang pemuda miskin dari desa kecil bernama Wa Lancar. Walau ia tidak memiliki banyak harta, hatinya penuh dengan cita-cita dan keinginan yang kuat untuk belajar. Setiap hari ia memandang ke arah pegunungan dan sawah, bermimpi menjadi bijaksana dan berpendidikan walau ia tahu bahwa ia tidak mampu membayar seorang guru.
Suatu hari, nasibnya berubah. Saat bekerja di dekat sawah, Wa Lancar bertemu seorang pria tua dengan wajah lembut dan tatapan penuh kebijaksanaan. Pria itu adalah seorang guru yang, melihat keinginan Wa Lancar untuk belajar. Pria itu lalu menawarkan diri untuk mengajarinya dengan imbalan bantuan di sawah, dan dengan gembira Wa Lancar menerima tawaran itu tanpa ragu.
Sang guru mengajarkan Wa Lancar tentang dunia, manusia, dan alam. Setiap pelajaran terasa seperti hadiah yang berharga, dan Wa Lancar menyerap setiap ilmu yang bisa ia dapatkan. Setelah bertahun-tahun bekerja keras dan belajar, sang guru berkata bahwa Wa Lancar sudah belajar banyak dan tidak ada lagi yang dapat diajarkan. Sebelum Wa Lancar pergi, guru itu memberi satu nasihat jika lapar, jangan makan langsung, tunggu dulu. Wa Lancar berpikir keras atas nasihat ini, namun ia berterima kasih pada gurunya dengan tulus dan melanjutkan perjalanannya.
Penuh semangat untuk belajar lebih banyak, ia akhirnya bertemu guru kedua. Seperti sebelumnya, guru ini juga bersedia menerimanya sebagai murid, hanya meminta bantuan di sawah. Selama beberapa tahun lagi, Wa Lancar belajar dan bekerja bersama gurunya, menyerap semua ilmu yang bisa ia peroleh. Suatu hari, sang guru berkata sudah waktunya ia pergi. Sebelum pergi guru kedua juga memberi nasehat kepada Wa Lancar, yaitu saat lelah berjalan, berhenti dan istirahatlah. Sekali lagi, Wa Lancar berterima kasih pada gurunya, menyimpan nasihat tersebut dalam hati saat ia melanjutkan perjalanannya.
Bertahun-tahun kemudian, Wa Lancar bertemu guru ketiga. Seperti sebelumnya, Wa Lancar bekerja keras di sawah sebagai imbalan atas pelajaran yang ia terima. Setelah bertahun-tahun belajar, sang guru berkata sudah waktunya mereka berpisah. Sebelum pergi, guru ketiga juag memberi nasehat, ambillah batu dan pisau, lalu asah pisau tersebut.
Wa Lancar sangat berterima kasih atas semua kebijaksanaan dan nasihat yang diberikan para gurunya. Terinspirasi, ia memutuskan untuk membagikan ilmu yang telah ia peroleh, terutama kepada anak-anak yang, seperti dirinya, tidak mampu membayar pelajaran. Ia mulai mengajar anak-anak di desanya, membantu mereka menumbuhkan kebijaksanaan mereka sendiri.
Awalnya, hanya sedikit anak yang belajar darinya, namun segera banyak anak-anak lain yang datang. Nama Wa Lancar mulai dikenal, dan orang-orang mengagumi kedermawanan dan kebijaksanaannya. Namun, kesuksesannya memunculkan kecemburuan di hati seorang guru lain, yang merasa terancam dengan reputasi Wa Lancar yang semakin berkembang.
Guru yang iri itu memutuskan untuk bertindak. Suatu hari, ia pergi ke istana dan mengatakan kepada raja, bahwa Wa Lancar mengajarkan hal-hal yang berbahaya kepada anak-anak, mengisi pikiran mereka dengan gagasan yang dapat membuat mereka melawan raja.
Raja yang terkejut, memanggil Wa Lancar ke istana. Namun bukannya memenjarakannya, raja memberikan hukuman yang tidak biasa. Wa Lancar harus menikahi putri raja. Seluruh pengadilan terdiam, dan Wa Lancar merasa hatinya tenggelam. Rumor beredar, bahwa semua pria yang menikahi putri raja akan mati secara misterius tidak lama setelah pernikahan. Namun, Wa Lancar tidak dapat menolak.
Hari pernikahan tiba, dan pesta pernikahan dipenuhi hidangan lezat dan anggur berkualitas. Saat ia duduk bersama para tamu, guru yang iri itu, dengan senyum penuh niat jahat, menawarkan sepiring makanan padanya. Wa Lancar merasa lapar, tetapi ia teringat pada nasihat guru pertamanya jika lapar, jangan makan langsung. Tunggu dulu.
Mengikuti nasihat tersebut, ia dengan sopan menolak. Beberapa saat kemudian, orang yang duduk di sebelahnya memakan makanan tersebut. Tidak lama kemudian, orang itu pingsan, merasakan sakit yang luar biasa. Para tamu terkejut, dan dalam beberapa menit, orang itu meninggal. Ternyata, makanan tersebut telah diracuni.
Keesokan paginya, guru yang iri mencoba tipu daya lain. Ia mendekati Wa Lancar dengan pesan dari raja, bahwa raja meminta batu hitam dari bukit jauh dan Wa Lancar harus mengambilnya. Wa Lancar berangkat bersama sekelompok prajurit. Setelah berjalan berjam-jam dengan sulit, ia merasa lelah. Mengingat nasihat guru keduanya, ia berkata pada prajurit untuk berjalan lebih dulu sementara ia beristirahat di bawah naungan pohon. Tiba-tiba, ia mendengar teriakan dan jeritan. Bergegas maju, ia melihat bahwa para prajurit telah jatuh ke dalam lubang dalam yang tertutup rumput. Wa Lancar, yang masih aman, melanjutkan ke puncak bukit dan menemukan batu hitam tersebut.
Saat ia kembali ke istana, raja terkesan dengan ketahanannya dan keberaniannya. Malam itu, merasa sangat lelah, Wa Lancar bersiap untuk tidur di kamar barunya. Namun, ia mengingat nasihat guru ketiganya agar mengambil batu dan pisau, lalu asah pisau tersebut. Ia mengambil batu hitam yang ia bawa dan mulai mengasah pisau. Setelah selesai, ia naik ke tempat tidur, hanya untuk merasakan sesuatu yang dingin dan bersisik di sebelahnya. Kaget, ia melompat turun dari tempat tidur dan menemukan seekor lipan besar dengan taring yang berkilauan di bawah sinar bulan. Dengan cepat, Wa Lancar mengambil pisau tersebut dan membunuh lipan itu. Istrinya terbangun, terkejut tapi bersyukur, menyadari bahwa ia baru saja diselamatkan.
Keesokan harinya, Wa Lancar menceritakan semuanya kepada istrinya. Racun di pernikahan, jebakan di bukit, dan lipan di tempat tidurnya. Ia menyimpulkan, bahwa itu semua adalah ulah guru yang iri itu.
Sang putri segera melaporkan semuanya kepada ayahnya, sang raja. Marah, raja memanggil guru yang iri itu dan menuntut kebenaran. Gemetar, guru itu mengakui semua kebohongan dan tipu muslihatnya. Raja pun memerintahkan hukuman yang setimpal, dan guru yang iri itu diusir dari kerajaan.
Wa Lancar menjadi dikenal luas atas kebijaksanaan dan kebaikannya. Orang-orang tidak hanya mengaguminya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai pahlawan yang menggunakan kebijaksanaannya untuk melindungi orang lain. Ia terus mengajar, membagikan nasihat berharga yang ia peroleh dari ketiga gurunya, membantu anak-anak tumbuh menjadi bijaksana dan kuat.
Sejak hari itu, Wa Lancar hidup bahagia, selalu mengingat pelajaran tentang kesabaran, istirahat, dan kesiapan yang telah menuntunnya melewati cobaan terberat dalam hidupnya.